Resensi Buku Ilmiah
Sumber: Kompas, 17 Juni 2011 Judul : Samuel Leibowitz: Pengacara Kaum Tertindas Peresensi: Arif Syam Pengarang : Fred D. Pasley Penerjemah : Nisrina Lubis Tahun : 2010 Penerbit : Navila Yogyakarta Tebal : xvi + 292 halaman
Samuel Leibowitz, sang pengacara kaum tertindas ini, jelas memiliki nama yang cukup tenar di kalangan pengacara di berbagai belahan dunia. Ia bahkan tercatat sebagai salah satu pengacara yang turut serta menegakkan tonggak hukum di Amerika Serikat.
Nama Leibowitz mulai mencuat di seantero Amerika setelah dia sukses membebaskan sembilan pemuda kulit hitam dari kursi listrik. Kala itu, sembilan pemuda kulit hitam tersebut divonis telah memperkosa dua orang perempuan kulit putih dan harus dihukum mati, hanya dengan tiga hari masa proses persidangan. Tak ayal keputusan ini pun menuai protes dari berbagai pihak, termasuk sebagian orang kulit putih. Banyak tokoh nasional Amerika kala itu pun mengajukan petisi, salah satunya Albert Einstein.
Sidang ulang pun digelar dan Leibowitz, diminta untuk membela sembilan pemuda tadi. Leibowitz tidak langsung menerima tawaran tersebut. Dia masih memeriksa terlebih dulu berkas-berkas persidangan, karena dia tidak mau membela orang yang memang bersalah. Setelah mempelajari berkas-berkas tersebut dia pun memutuskan untuk bersedia menjadi pembela tanpa meminta bayaran sedikitpun.
Sepak terjang Leibowitz tersebut secara gamblang mengatakan bahwa slogan justice for all telah benar-benar dipraktikkan oleh pengacara keturunan Yahudi tersebut. Sikap Leibowitz itu tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan di Amerika era tahun 1930-an, di mana sentimen rasial masih sangat kental. Tidak berlebihan jika kemudian Fred D. Pasley, penulis buku-buku biografi di Amerika, tergerak untuk meneliti pengacara kondang era 1930-an tersebut dan mengisahkannya dalam buku setebal 292 halaman ini.
Dengan bahasa yang mengalir, buku yang berjudul Samuel Leibowitz: pengacara kaum tertindas ini mengisahkan berbagai sepak terjang Leibowitz selama dia menjadi pengacara. Dikisahkan bahwa Leibowitz bukan sekedar tenar dan kontroversial, tetapi juga terbilang pengacara yang memiliki prestasi yang cukup memukau. Betapa tidak, terhitung Leibowitz berhasil membebaskan 77 orang dari hukuman mati dari 78 orang yang dibelanya. Tak ayal dia pun menjadi pengacara yang cukup mahal di New York pada waktu itu, yaitu dengan tarif minimal US$ 10.000.
Namun, kenyataan tersebut bukan lantas berarti Leibowitz itu pengacara mata duitan. Leibowitz pernah dihadapkan dengan dua kasus dalam waktu yang bersamaan, yaitu Al Capone seorang gembong mafia yang berani membayar US$ 100.000 dan si malang Herry Hoffman yang sama sekali tidak punya uang untuk membayar. Alhasil Leibowitz ternyata lebih memilih untuk membela seorang Herry Hoffman. Sikap Leibowitz tadi agaknya cukup sulit untuk dijumpai di bumi pertiwi ini. Akhirnya, di tengah kondisi carut marut hukum di Indonesia—kasus Antasari Azhar yang masih belum jelas sampai saat ini, nenek Minah yang dipenjara hanya karena mencuri tiga buah kakau, koroptor yang bebas berkeliaran, dan lain sebagainya—kehadiran buku ini telah memberi kontribusi yang besar. Semangat mempertahankan prinsip justice for all oleh Leibowitz di sepanjang kisah hidupnya dalam buku ini tentu sangat cukup untuk menginspirasi masyarakat Indonesia, khususnya kalangan pengacara.
Inti dari cerita diatas : - Justice for All : Semua orang pantas mendapatkan keadilan karena kita semua memiliki status yang sama yaitu Manusia ciptaan Tuhan - Menjadi seseorang yang berjalan melawan arus tidaklah mudah, banyak sekali cobaan yang akan datang untuk melatih mental kita sebagai seseorang yang berbeda dari kebanyakan orang